ABSTRAKSI
Metafora atau majaz sering memberikan
pengertian bahwa makna sebuah kata di luar makna yang lazim dipahami karena ada
alas an yang membenarkan kata tersebut diinterpretasikan demikian. Dengan kata
lain bahwa majaz merupakan ungkapan atau kata yang digunakan untuk
menunjukkan makna lain yang memiliki keterkaitan disertai adanya qorinah penghalang
untuk diterjemahkan menurut arti pertama.
Penerjemahan
metafora tidak terbatas pada satu kata dalam sebuah ungkapan, bahkan bias
ungkapan, ta’bir dan tutur kalimat yang merupakan sarana pengungkapan
ide-ide, permasalahan-permasalahan bahkan perasaan, di mana pengungkapan secara
metaforis ini menjadi sebuah model dalam menuangkan pokok-pokok pikiran yang
bernilai sastra.
Ada beberapa
metode yang digunakan dalam penerjemahan metafora yang efektif digunakan untuk
memudahkan penerjemah, di antaranya adalah yang diungkapkan oleh New Mark
(1986) dan Larson (1991) yang masing-masing memiliki kelebihan-kelebihan
tertentu.
Dalam
penerjemahan metafora juga dipertimbangkan antara metafora dan simile, antara
metafora mati dan metafora hidup. Karena itu semua aspek yang melingkupi sistem
penerjemahan metafora adalah tidak lain untuk kesempurnaan makna suatu bahasa
sumber tatkala diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran.
Pendahuluan
Penerjemaham
merupakan suatu kiat yang bertujuan memperoleh padanan bagi bahasa sumber
(BSu), sehingga pesan yang terkandung dalam bahasa sumber dapat diungkapkan
kembali dalam bahasa sasaran (BSa). Bahkan lebih dari itu, penerjemahan harus
ditempatkan dalam konteks komunikasi, secara khusus komunikasi kebahasaan.
Sebagian
pakar mengemukakan bahwa penerjemahan merupakan upaya mengungkapkan kembali
pesan yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan
menggunakan padanan yang sesuai dan mendekati aslinya.
Penerjemahan
Metafora (Arab : Majaz), merupakan pemindahan makna teks ke dalam suatu bahasa
dalam pengertian yang tidak sesuai dengan makna-makna yang diketahui secara
umum. Penerjemahan metafora telah lama tumbuh dan berkembang di dunia Islam,
terutama dalam hal menafsirkan dan mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an.
Penerjemahan metofora dalam sejarah umat Islam popular sejak masa Tabi’
tabi’in.
Hampir semua
ulama sepakat tentang perlunya ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka para
Mufassir pada masa Tabi’ tabi’in itu mulai menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an
yang mengandung majaz, di antaranya adalah Imam Syatiby dan Imam Suyuthy yang
menilai majaz sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa. Demikian juga Mustafa
Mahmud yang menilai majaz sebagai unsure terpenting dalam kusasteraan (Shihab :
1995).
Hal di atas
menunjukkan bahwa penerjemahan metafora dalam dunia Islam menjadi sebuah
kebutuhan dalam rangka memahami teks-teks agama, yang dalam hal ini tidak
terbatas pada al-Qur’an dan al-Hadits semata, akan tetapi juga pada
narasi-narasi yang berbahasa Arab. Oleh karena itu terjemahan majaz merupakan
suatu hal yang sangat bernilai dalam kesusasteraan yang tidak bias dijangkau
kecuali bagi orang-orang yang telah memahami teks-teks sastra secara baik.
Berangkat
dari pemahaman bahwa penerjemahan metafora atau majaz telah menjadi tradisi di
dunia sastra Arab, maka perlu pengembangan cara-cara pemaknaan yang lebih baik
terhadap perhadap penerjemahan metafora tersebut. Hal ini terkait dengan
pembahasan tentang seberapa dalam pengetahuan dan wawasan penerjemah dalam
penerjemahan majaz. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan disajikan beberapa
kerangka definitif-teoritis mengenai penerjemahan metafora berikut
dengan metode penerjemahannya.
Metafora,
Simile dan Majaz
Sebelum
diuraikan pengertian beberapa istilah di atas, maka terlebih dahulu akan
dikemukakan pengertian terjamah. Terjemah berasal dari bahasa Arab ترجم –
يترجم – ترحمة, yang dalam bahasa Inggris disebut translation. Secara
etimologis ada empat kemungkinan makna dari terjemah. Pertama, menyampaikan
pembicaraan kepada orang lain yang pembicaraan tersebut tidak sampai padanya. Kedua,
berarti menafsirkan pembicaraan dengan bahasa yang sama dengan bahasa
pembicaraan itu. Ketiga, menafsirkan pembicaraan dengan bahasa bukan
bahasa pembicara dan keempat, berarti proses peralihan dari satu bahasa
ke bahasa lain. (Zarqani dalam Ainin : 2003)
Dari
pengertian etimologis ini kemudian didefinisikan oleh Newmark sebagai berikut :
“rendering the meaning of a texts into another language in the way that the
author intended the texts”. Artinya menerjemahkan makna suatu teks ke dalam
bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang (Newmark dalam Machalli :
1993:5).
Menurut
penulis, batasan pengertian yang diberikan oleh Newmark di atas mewakili sekian
pengertian terjemah yang ada, sebab sebuah penerjemahan minimal memiliki dua
kriteria ; pengalihan bahasa dari bahasa sumber dan penegasan pada
kesesuaian kesan dan makna yang dikehendaki pengarangnya.
Adapun majaz
berasal dari bahasa arab جاز الشئ – يجوز , artinya boleh/melewati. Orang
arab biasanya menyebutnya demikian pada lafadz yang diambil dari makna asli
kemudian digunakan untuk arti yang lain. Gaya pengungkapan dengan menggunakan
metafora sering digunakan oleh orang arab karena mereka gemar melebih-lebihkan
kata dan terutama pada pemaknaan yang banyak pada satu kata[i].
Selanjutnya,
Ahmad al-Hasyimi memberikan definisi sekaligus klasifikasi tentang majaz
didalam bahasa arab yaitu:
المجاز هو
اللفظ المستعمل فى غير ما وضع له فى اصطلاح التخاطب لعلاقة مع قرينة مانعة من
إرادة المعنى الوضعى.
(majaz ialah
kata yang digunakan untuk menunjukkan makna lain yang memiliki keterkaitan
disertai adanya qarinah penghalang untuk diterjemahkan menurut arti pertama).
Majaz
kemudian dibagi menjadi 4, yaitu: majaz isti’arah yakni majaz yang
menggunakan ‘alaqah (hubungan) yang sama (antara arti asal dengan arti
metafora), dan majaz mursal, yakni majaz yang menggunakan ‘alaqah yang
tidak sama, majaz murakkab yakni memalingkan ke makna lain karena
memiliki hubungan yang tidak sama, dan majaz ‘aqli yakni menyandarkan
suatu proses kepada arti lain diluar makna asli[ii].
Dari
pengertian diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya majaz di dalam bahasa arab
cenderung memberikan pemahaman makna sebuah kata diluar daripada makna yang
umum. Hal ini tentu bukan tanpa sebab, melainkan karena ada alasan yang
membenarkan kata tersebut diterjemahkan demikian.
Disamping
itu, penerjemahan majaz tidak terbatas pada satu kata dalam sebuah ungkapan,
bahkan bisa berupa ungkapan, ta’bir dan tutur kalimat yang merupakan
sarana mengungkapkan ide-ide, permasalahan-permasalahan, dan bahkan perasaan,
dimana pengungkapan secara majaz ini menjadi sebuah model dalam menuangkan
pemikiran yang bernilai sastra. Sebagaimana dikatakan bahwa gaya bahasa itu digunakan
dalam rangka mengungkap rasa, karsa yang sangat dalam dari seorang penulis.
Cara
Penerjemahan Metafora (Tarjamah Majaz)
Nurul
Murtadlo mencatat beberapa cara penerjemahan secara metaforis, sebagaimana yang
beliau kutip dari tulisan Newmark (1986) dan Larson (1991). Newmark menawarkan
tujuh cara sebagai berikut:
- Memproduksi citra (image) yang sama dalam bahasa sasaran, dengan syarat citra tersebut memiliki frekuensi dan penggunaan yang sebanding dalam ragam bahasa yang sesuai.
- Penerjemah bisa menggantikan citra dalam bahasa sumber dengan citra yang baku dalam bahasa sasaran yang tidak bertentangan dengan kultur bahasa sasaran tetapi sebagaimana metafor (stock metaphor), peribahasa dan seterusnya, mungkin saja diciptakan seseorang dan dipopulerkan melalui pidato populer, tulisan dan media lain.
- Penerjemahan metafora dengan simile dengan cara mempertahankan citra.
- Penerjemahan metafora (atau simile) dengan simile ditambah makna (atau kadang-kadang metafora ditambah makna).
- Pengubahan metafora menjadi makna.
- Penghilangan. Jika metafora tersebut tumpang tindih atau tidak diperlukan (otiose), ada alasan untuk menghilangkannya bersama-sama dengan komponen makna, dengan syarat teks bahasa sumber bukan authoritative atau expressive (yakni khususnya suatu ungkapan kepribadian penulis).
- Metafora yang sama digabung dengan makna.
Sementara
itu Larson (1984:267) mengungkapkan lima cara yang sederhana yang dinilai
mencakup ketujuh cara diatas, yaitu:
- Metafora dapat dipertahankan, jika kedengarannya wajar dan jelas bagi pembacanya.
- Metafora dapat diterjemahkan sebagai simile, yaitu dengan menambahkan kata seperti, bagai, bagaikan dan lain-lain.
- Metafora bahasa sumber dapat digantikan dengan metafora bahasa sasaran yang mempunyai makna yang sama.
- Metafora dapat dipertahankan dengan menerangkan maknanya atau menambahkan topik dan/atau titik kemiripannya.
- Makna metafora dapat dijelaskan tanpa menggunakan citra metaforisnya.
Kedua versi
diatas memperlihatkan secara rinci bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang bisa
dilakukan dalam penerjemahan metafora, meskipun pada kesimpulannya, Murtadlo
menilainya masih terlalu sempit dalam pemaknaan metafora terutama jika
dibandingkan dengan definisi majaz perbandingan dalam klasifikasi moeliono
(1989)[iii].
Konsepsi-konsepsi
ini tentunya sebatas tawaran untuk lebih mendekatkan pada arti dari bahasa
sumber kepada bahasa sasaran. Karena bagaimanapun juga menerjemahkan bahasa
sumber kedalam bahasa sasaran paling tidak hanya bisa mendekati makna yang
dikehendaki oleh bahasa sumber. Oleh karenanya, hal yang mendasar didalam
penerjemahan adalah penerjemahan dengan prosedur harfiah telah serasi dengan
kaidah bahasa dan kondisi cultural bahasa sumber, maka prosedur lain
tidak perlu diberlakukan (Machalli, 1996:64-65).
Pengertian
Metafora
Metafora
dalam arti luas adalah semua bentuk kiasan yang oleh Moeliono (1989)
diistilahkan majaz dengan tiga klasifikasi, majaz perbandingan, majaz
pertentangan dan majaz pertautan, menurut Moeliono diatas, (التشبيه – simile
(eksplisit) dan metafora (implisit) adalah sub-kategori majaz perbandingan.
Istilah
majaz (مجاز) pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ubaidah (110-209) dengan arti
segala bentuk kiasan termasuk didalamnya تشبيه /tasybi:h/atau majaz
perbandingan dalam istilah Moeliono (1989). Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, majaz hanyalah merupakan salah satu bagian dari bentuk-bentuk
kiasan yang menjadi kajian ilmu bayan.
Majaz
sebagai terjemahan Figure of speech, rhetorical atau schemes (Abram,
1981) kurang tepat dipakai dalam kajian karena dua alasan:
- kata tersebut serapan dari bahasa arab yang cakupannya lebih sempit dari metafora daam artian luas.
- istilah metafora dipilih dalam tulisan ini dalam artian luas yang dapat dipadankan dengan istilah majaz (مجاز) dalam bahasa arab sebagaimana pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ubaidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar