Selasa, 27 November 2012

Metafora dalam Penerjemahan Arab-Indonesia


ABSTRAKSI
Metafora atau majaz sering memberikan pengertian bahwa makna sebuah kata di luar makna yang lazim dipahami karena ada alas an yang membenarkan kata tersebut diinterpretasikan demikian. Dengan kata lain bahwa majaz merupakan ungkapan atau kata yang digunakan untuk menunjukkan makna lain yang memiliki keterkaitan disertai adanya qorinah penghalang untuk diterjemahkan menurut arti pertama.
Penerjemahan metafora tidak terbatas pada satu kata dalam sebuah ungkapan, bahkan bias ungkapan, ta’bir dan tutur kalimat yang merupakan sarana pengungkapan ide-ide, permasalahan-permasalahan bahkan perasaan, di mana pengungkapan secara metaforis ini menjadi sebuah model dalam menuangkan pokok-pokok pikiran yang bernilai sastra.
Ada beberapa metode yang digunakan dalam penerjemahan metafora yang efektif digunakan untuk memudahkan penerjemah, di antaranya adalah yang diungkapkan oleh New Mark (1986) dan Larson (1991) yang masing-masing memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.
Dalam penerjemahan metafora juga dipertimbangkan antara metafora dan simile, antara metafora mati dan metafora hidup. Karena itu semua aspek yang melingkupi sistem penerjemahan metafora adalah tidak lain untuk kesempurnaan makna suatu bahasa sumber tatkala diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran.
Pendahuluan
Penerjemaham merupakan suatu kiat yang bertujuan memperoleh padanan bagi bahasa sumber (BSu), sehingga pesan yang terkandung dalam bahasa sumber dapat diungkapkan kembali dalam bahasa sasaran (BSa). Bahkan lebih dari itu, penerjemahan harus ditempatkan dalam konteks komunikasi, secara khusus komunikasi kebahasaan.
Sebagian pakar mengemukakan bahwa penerjemahan merupakan upaya mengungkapkan kembali pesan yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan menggunakan padanan yang sesuai dan mendekati aslinya.
Penerjemahan Metafora (Arab : Majaz), merupakan pemindahan makna teks ke dalam suatu bahasa dalam pengertian yang tidak sesuai dengan makna-makna yang diketahui secara umum. Penerjemahan metafora telah lama tumbuh dan berkembang di dunia Islam, terutama dalam hal menafsirkan dan mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an. Penerjemahan metofora dalam sejarah umat Islam popular sejak masa Tabi’ tabi’in.
Hampir semua ulama sepakat tentang perlunya ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka para Mufassir pada masa Tabi’ tabi’in itu mulai menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung majaz, di antaranya adalah Imam Syatiby dan Imam Suyuthy yang menilai majaz sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa. Demikian juga Mustafa Mahmud yang menilai majaz sebagai unsure terpenting dalam kusasteraan (Shihab : 1995).
Hal di atas menunjukkan bahwa penerjemahan metafora dalam dunia Islam menjadi sebuah kebutuhan dalam rangka memahami teks-teks agama, yang dalam hal ini tidak terbatas pada al-Qur’an dan al-Hadits semata, akan tetapi juga pada narasi-narasi yang berbahasa Arab. Oleh karena itu terjemahan majaz merupakan suatu hal yang sangat bernilai dalam kesusasteraan yang tidak bias dijangkau kecuali bagi orang-orang yang telah memahami teks-teks sastra secara baik.
Berangkat dari pemahaman bahwa penerjemahan metafora atau majaz telah menjadi tradisi di dunia sastra Arab, maka perlu pengembangan cara-cara pemaknaan yang lebih baik terhadap perhadap penerjemahan metafora tersebut. Hal ini terkait dengan pembahasan tentang seberapa dalam pengetahuan dan wawasan penerjemah dalam penerjemahan majaz. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan disajikan beberapa kerangka definitif-teoritis mengenai penerjemahan metafora berikut dengan metode penerjemahannya.
Metafora, Simile dan Majaz
Sebelum diuraikan pengertian beberapa istilah di atas, maka terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian terjamah.  Terjemah berasal dari bahasa Arab ترجم – يترجم – ترحمة, yang dalam bahasa Inggris disebut translation. Secara etimologis ada empat kemungkinan makna dari terjemah. Pertama, menyampaikan pembicaraan kepada orang lain yang pembicaraan tersebut tidak sampai padanya. Kedua, berarti menafsirkan pembicaraan dengan bahasa yang sama dengan bahasa pembicaraan itu. Ketiga, menafsirkan pembicaraan dengan bahasa bukan bahasa pembicara dan keempat, berarti proses peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain. (Zarqani dalam Ainin : 2003)
Dari pengertian etimologis ini kemudian didefinisikan oleh Newmark sebagai berikut : “rendering the meaning of a texts into another language in the way that the author intended the texts”. Artinya menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang (Newmark dalam Machalli : 1993:5).
Menurut penulis, batasan pengertian yang diberikan oleh Newmark di atas mewakili sekian pengertian terjemah yang ada, sebab sebuah penerjemahan minimal memiliki dua kriteria ; pengalihan bahasa dari bahasa sumber dan penegasan pada kesesuaian kesan dan makna yang dikehendaki pengarangnya.
Adapun majaz berasal dari bahasa arab جاز الشئ – يجوز  , artinya boleh/melewati. Orang arab biasanya menyebutnya demikian pada lafadz yang diambil dari makna asli kemudian digunakan untuk arti yang lain. Gaya pengungkapan dengan menggunakan metafora sering digunakan oleh orang arab karena mereka gemar melebih-lebihkan kata dan terutama pada pemaknaan yang banyak pada satu kata[i].
Selanjutnya, Ahmad al-Hasyimi memberikan definisi sekaligus klasifikasi tentang majaz didalam bahasa arab yaitu:
المجاز هو اللفظ المستعمل فى غير ما وضع له فى اصطلاح التخاطب لعلاقة مع قرينة مانعة من إرادة المعنى الوضعى.
(majaz ialah kata yang digunakan untuk menunjukkan makna lain yang memiliki keterkaitan disertai adanya qarinah penghalang untuk diterjemahkan menurut arti pertama).
Majaz kemudian dibagi menjadi 4, yaitu: majaz isti’arah yakni majaz yang menggunakan ‘alaqah (hubungan) yang sama (antara arti asal dengan arti metafora), dan majaz mursal, yakni majaz yang menggunakan ‘alaqah yang tidak sama, majaz murakkab yakni memalingkan ke makna lain karena memiliki hubungan yang tidak sama, dan majaz ‘aqli yakni menyandarkan suatu proses kepada arti lain diluar makna asli[ii].
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya majaz di dalam bahasa arab cenderung memberikan pemahaman makna sebuah kata diluar daripada makna yang umum. Hal ini tentu bukan tanpa sebab, melainkan karena ada alasan yang membenarkan kata tersebut diterjemahkan demikian.
Disamping itu, penerjemahan majaz tidak terbatas pada satu kata dalam sebuah ungkapan, bahkan bisa berupa ungkapan, ta’bir dan tutur kalimat yang merupakan sarana mengungkapkan ide-ide, permasalahan-permasalahan, dan bahkan perasaan, dimana pengungkapan secara majaz ini menjadi sebuah model dalam menuangkan pemikiran yang bernilai sastra. Sebagaimana dikatakan bahwa gaya bahasa itu digunakan dalam rangka mengungkap rasa, karsa yang sangat dalam dari seorang penulis.
Cara Penerjemahan Metafora (Tarjamah Majaz)
Nurul Murtadlo mencatat beberapa cara penerjemahan secara metaforis, sebagaimana yang beliau kutip dari tulisan Newmark (1986) dan Larson (1991). Newmark menawarkan tujuh cara sebagai berikut:
  1. Memproduksi citra (image) yang sama dalam bahasa sasaran, dengan syarat citra tersebut memiliki frekuensi dan penggunaan yang sebanding dalam ragam bahasa yang sesuai.
  2. Penerjemah bisa menggantikan citra dalam bahasa sumber dengan citra yang baku dalam bahasa sasaran yang tidak bertentangan dengan kultur bahasa sasaran tetapi sebagaimana metafor (stock metaphor), peribahasa dan seterusnya, mungkin saja diciptakan seseorang dan dipopulerkan melalui pidato populer, tulisan dan media lain.
  3. Penerjemahan metafora dengan simile dengan cara mempertahankan citra.
  4. Penerjemahan metafora (atau simile) dengan simile ditambah makna (atau kadang-kadang metafora ditambah makna).
  5. Pengubahan metafora menjadi makna.
  6. Penghilangan. Jika metafora tersebut tumpang tindih atau tidak diperlukan (otiose), ada alasan untuk menghilangkannya bersama-sama dengan komponen makna, dengan syarat teks bahasa sumber bukan authoritative atau expressive (yakni khususnya suatu ungkapan kepribadian penulis).
  7. Metafora yang sama digabung dengan makna.
Sementara itu Larson (1984:267) mengungkapkan lima cara yang sederhana yang dinilai mencakup ketujuh cara diatas, yaitu:
  1. Metafora dapat dipertahankan, jika kedengarannya wajar dan jelas bagi pembacanya.
  2. Metafora dapat diterjemahkan sebagai simile, yaitu dengan menambahkan kata seperti, bagai, bagaikan dan lain-lain.
  3. Metafora bahasa sumber dapat digantikan dengan metafora bahasa sasaran yang mempunyai makna yang sama.
  4. Metafora dapat dipertahankan dengan menerangkan maknanya atau menambahkan topik dan/atau titik kemiripannya.
  5. Makna metafora dapat dijelaskan tanpa menggunakan citra metaforisnya.
Kedua versi diatas memperlihatkan secara rinci bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan dalam penerjemahan metafora, meskipun pada kesimpulannya, Murtadlo menilainya masih terlalu sempit dalam pemaknaan metafora terutama jika dibandingkan dengan definisi majaz perbandingan dalam klasifikasi moeliono (1989)[iii].
Konsepsi-konsepsi ini tentunya sebatas tawaran untuk lebih mendekatkan pada arti dari bahasa sumber kepada bahasa sasaran. Karena bagaimanapun juga menerjemahkan bahasa sumber kedalam bahasa sasaran paling tidak hanya bisa mendekati makna yang dikehendaki oleh bahasa sumber. Oleh karenanya, hal yang mendasar didalam penerjemahan adalah penerjemahan dengan prosedur harfiah telah serasi dengan kaidah bahasa dan kondisi cultural bahasa sumber, maka prosedur lain tidak perlu diberlakukan (Machalli, 1996:64-65).
Pengertian Metafora
Metafora dalam arti luas adalah semua bentuk kiasan yang oleh Moeliono (1989) diistilahkan majaz dengan tiga klasifikasi, majaz perbandingan, majaz pertentangan dan majaz pertautan, menurut Moeliono diatas, (التشبيه – simile (eksplisit) dan metafora (implisit) adalah sub-kategori majaz perbandingan.
Istilah majaz (مجاز) pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ubaidah (110-209) dengan arti segala bentuk kiasan termasuk didalamnya تشبيه /tasybi:h/atau majaz perbandingan dalam istilah Moeliono (1989). Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, majaz hanyalah merupakan salah satu bagian dari bentuk-bentuk kiasan yang menjadi kajian ilmu bayan.
Majaz sebagai terjemahan Figure of speech, rhetorical atau schemes (Abram, 1981) kurang tepat dipakai dalam kajian karena dua alasan:
  1. kata tersebut serapan dari bahasa arab yang cakupannya lebih sempit dari metafora daam artian luas.
  2. istilah metafora dipilih dalam tulisan ini dalam artian luas yang dapat dipadankan dengan istilah majaz (مجاز) dalam bahasa arab sebagaimana pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ubaidah. 
http://blog.uin-malang.ac.id/amin/2010/12/21/metafora-dalam-penerjemahan-arab-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar